Tarian suku sakai
andika
1IA03
51414063
bergerak
perlahan-lahan, berjongkok dan sesekali berputar mengikuti hentakan irama yang
dihasilkan dari bunyi bebano dan tetawak (gong, red) sembari melafazkan syair
serupa mantera yang biasa digunakan dalam tata cara pengobatan suku Sakai atau
dikenal dengan istilah dikei. Kesenian itu mereka beri nama tari Olang-olang.
Lambat namun pasti, tubuhnya bergerak ringan memasuki dunia memabukkan yang
membawanya masuk ke dalam keheningan dan kesendirian. Gerakan menghentak kaki
ke lantai serta permainan pergelangan tangan seperti kepak burung terlihat
anggun. Bomo Kampung Mandi Angin, Kecamatan Minas, Kabupaten Siak itu terus
saja melompat-lompat kecil dan berputar dengan mata setengah terpejam.
Syair yang dilafazkannya melahirkan nuansa magis dan dilantunkan dengan nada sederhana namun cukup membuat bulu roma berdiri. Syair itu berbunyi;
Anak itik teuwai-uwai
Anak la kumbang telato-lato
Dai la kocik punenen buwai
Olang godang pun main mato
Olang ku sayang
Salak kutai di tonga padang
Pisang seondah cundung ke awan
Menengok olang la menai-nai
Tinggilah ondah munyisik awan olang
Badontum bunyi kaki olang
Olang badontum bunyi kaki
Kaki mumakan obo muontang
Badontum bunyi kaki
Olang balik bualun pulang
Pulang ruh pulanglah insan pulanglah badan soto nyawo
Pulang katokan dalam kalimat la ilahaillah
Syair yang dilafazkannya melahirkan nuansa magis dan dilantunkan dengan nada sederhana namun cukup membuat bulu roma berdiri. Syair itu berbunyi;
Anak itik teuwai-uwai
Anak la kumbang telato-lato
Dai la kocik punenen buwai
Olang godang pun main mato
Olang ku sayang
Salak kutai di tonga padang
Pisang seondah cundung ke awan
Menengok olang la menai-nai
Tinggilah ondah munyisik awan olang
Badontum bunyi kaki olang
Olang badontum bunyi kaki
Kaki mumakan obo muontang
Badontum bunyi kaki
Olang balik bualun pulang
Pulang ruh pulanglah insan pulanglah badan soto nyawo
Pulang katokan dalam kalimat la ilahaillah
Lirik
dari syair atau mantera ini dilafazkan berulang-ulang seiring dengan gerakan
seperti burung terbang. Meskipun M Darus hanya memperlihatkan seni yang menjadi
bagian pengobatan orang Sakai, namun pertunjukan tari Olang-olang tersebut
cukup mengesankan. Apalagi tarian itu tidak dilakukan sekadarnya, melainkan
dengan sungguh-sungguh. Tidak mengherankan, tarian dan syair yang dilafazkannya
membuat semua orang yang menontonnya larut dalam suasana magis tersebut.
‘’Olang-olang ini merupakan tarian pengobatan atau dikei, sekaligus berfungsi sebagai hiburan rakyat dalam komunitas Suku Sakai. Tari ini biasa pula dipersembahkan saat perhelatan adat maupun berbagai acara seni,’’ ulas Darus.
Kerasukan Roh Soli
Saat menari Olang (elang, red), penarinya bisa kerasukan roh soli-nya. Soli (hantu, red) merupakan ruh leluhur atau suhu si penari. Menurut Darus, soli itu di masa hidupnya juga seorang bomo dan setelah meninggal rohnya akan terus menjaga orang yang memiliki hubungan sedarah dengannya. Dalam pengobatan, soli kerap memberi petunjuk pada sang bomo untuk mengetahui obat yang diperlukan dalam penyembuhan pasien dan biasanya datang melalui alam mimpi.
Tokoh masyarakat Mandi Angin yang kerap menampilkan tari Olang-olang hingga ke mancanegara ini mengilustrasikan, saat menarikan Olang-olang, tubuhnya akan terasa ringan dan bergerak halus dan semuanya bermula dari hati. Perasaan menjadi nyaman dan saat pemikiran mulai kosong, pemandangan terasa di dunia sendiri. Hening dan sepi mengikti suasana yang diciptakan alunan musik. Saat menari, syair bisa dilafazkan beriringan dengan musik atau musik saja atau syair saja asal tidak ada kekosongan atau irama yang putus.
‘’Rasanya seperti sedang mabuk. Gerakkan mengalir tanpa diperintah bagai burung elang yang sedang terbang bebas dan lincah di angkasa. Karena saya seorang bomo dan mengenal soli saya, maka saya bisa mengendalikannya sendiri dengan kata lain saya bisa keluar masuk dunia roh dan dunia nyata saat menari,’’ ungkap pengacara yang juga seniman Sakai tersebut.
Bagi seorang penari pemula, saat melakukan tari Olang-olang harus dikawal atau didampingi seorang bomo. Kerap terjadi, penari pemula tidak henti-hentinya menari karena tak kuasa menahan keinginan soli-nya untuk menari. Bahkan ketika pertunjukan usai, penari terus bergerak dan akan berhenti saat roh yang masuk kelelahan. Jika sudah demikian maka penari akan pingsan namun saat tidak terkendali, bomo bisa segera menghentikannya. ‘’Saya pernah mencoba itu dengan seorang penari pemula dan dia terus saja menari meski acara sudah habis,’’ kata Darus melepas tawa.
Elang sebagai Perantara
Orang Sakai mempercayai ‘Rajo Olang’ dalam dialek Melayu Sakai yakni ‘Raja Elang’ adalah burung yang mampu terbang ke langit. Bomo akan berinteraksi dengannya sebagai penyampai pesan kepada Tuhan. Artinya, burung elang dijadikan sebagai perantara, antara manusia dan pencipta alam semesta. Namun burung tersebut hanyalah salah satu dari penyampai pesan dari bomo kepada Sang Pencipta, bisa juga burung lain dan binatang lain yang disimbolkan sebagai mahluk yang mampu berkomunikasi langsung dengan Sang Pencipta.
Untuk melakukan pemanggilan para penyampai pesan seperti elang, pungguk, kobra, ketam dan sebagainya itu, biasanya dilakukan bomo pada malam hari. Kenapa malam? Darus menyebutkan, pada malam yang gulita diperlukan cahaya api sebagai mata atau pedoman. Bisa dilakukan di dalam rumah atau di halaman. Selain api, juga dipersiapkan keperluan lainnya seperti lilin, beretih, bunga-bungaan dan berbagai aksesoris lainnya seperti buruk kepala kepala satu, kepala dua dan lainnya. Saat dikei dilaksanakan, bomo akan mendapat petunjuk atau ilham pada binatang mana ia harus menyampaikan pesan. Saat itulah, bomo menari diantara cahaya api, sesajen dan pasien yang berbaring maupun duduk. ‘’Olang tu adalah burung elang yang kami simbolkan sebagai soli atau hantu yang bersedia memberikan bantuan untuk mendapatkan petunjuk dari dunia halus yang bermanfaat bagi dunia nyata,’’ jelas Darus meyakinkan.
‘’Olang-olang ini merupakan tarian pengobatan atau dikei, sekaligus berfungsi sebagai hiburan rakyat dalam komunitas Suku Sakai. Tari ini biasa pula dipersembahkan saat perhelatan adat maupun berbagai acara seni,’’ ulas Darus.
Kerasukan Roh Soli
Saat menari Olang (elang, red), penarinya bisa kerasukan roh soli-nya. Soli (hantu, red) merupakan ruh leluhur atau suhu si penari. Menurut Darus, soli itu di masa hidupnya juga seorang bomo dan setelah meninggal rohnya akan terus menjaga orang yang memiliki hubungan sedarah dengannya. Dalam pengobatan, soli kerap memberi petunjuk pada sang bomo untuk mengetahui obat yang diperlukan dalam penyembuhan pasien dan biasanya datang melalui alam mimpi.
Tokoh masyarakat Mandi Angin yang kerap menampilkan tari Olang-olang hingga ke mancanegara ini mengilustrasikan, saat menarikan Olang-olang, tubuhnya akan terasa ringan dan bergerak halus dan semuanya bermula dari hati. Perasaan menjadi nyaman dan saat pemikiran mulai kosong, pemandangan terasa di dunia sendiri. Hening dan sepi mengikti suasana yang diciptakan alunan musik. Saat menari, syair bisa dilafazkan beriringan dengan musik atau musik saja atau syair saja asal tidak ada kekosongan atau irama yang putus.
‘’Rasanya seperti sedang mabuk. Gerakkan mengalir tanpa diperintah bagai burung elang yang sedang terbang bebas dan lincah di angkasa. Karena saya seorang bomo dan mengenal soli saya, maka saya bisa mengendalikannya sendiri dengan kata lain saya bisa keluar masuk dunia roh dan dunia nyata saat menari,’’ ungkap pengacara yang juga seniman Sakai tersebut.
Bagi seorang penari pemula, saat melakukan tari Olang-olang harus dikawal atau didampingi seorang bomo. Kerap terjadi, penari pemula tidak henti-hentinya menari karena tak kuasa menahan keinginan soli-nya untuk menari. Bahkan ketika pertunjukan usai, penari terus bergerak dan akan berhenti saat roh yang masuk kelelahan. Jika sudah demikian maka penari akan pingsan namun saat tidak terkendali, bomo bisa segera menghentikannya. ‘’Saya pernah mencoba itu dengan seorang penari pemula dan dia terus saja menari meski acara sudah habis,’’ kata Darus melepas tawa.
Elang sebagai Perantara
Orang Sakai mempercayai ‘Rajo Olang’ dalam dialek Melayu Sakai yakni ‘Raja Elang’ adalah burung yang mampu terbang ke langit. Bomo akan berinteraksi dengannya sebagai penyampai pesan kepada Tuhan. Artinya, burung elang dijadikan sebagai perantara, antara manusia dan pencipta alam semesta. Namun burung tersebut hanyalah salah satu dari penyampai pesan dari bomo kepada Sang Pencipta, bisa juga burung lain dan binatang lain yang disimbolkan sebagai mahluk yang mampu berkomunikasi langsung dengan Sang Pencipta.
Untuk melakukan pemanggilan para penyampai pesan seperti elang, pungguk, kobra, ketam dan sebagainya itu, biasanya dilakukan bomo pada malam hari. Kenapa malam? Darus menyebutkan, pada malam yang gulita diperlukan cahaya api sebagai mata atau pedoman. Bisa dilakukan di dalam rumah atau di halaman. Selain api, juga dipersiapkan keperluan lainnya seperti lilin, beretih, bunga-bungaan dan berbagai aksesoris lainnya seperti buruk kepala kepala satu, kepala dua dan lainnya. Saat dikei dilaksanakan, bomo akan mendapat petunjuk atau ilham pada binatang mana ia harus menyampaikan pesan. Saat itulah, bomo menari diantara cahaya api, sesajen dan pasien yang berbaring maupun duduk. ‘’Olang tu adalah burung elang yang kami simbolkan sebagai soli atau hantu yang bersedia memberikan bantuan untuk mendapatkan petunjuk dari dunia halus yang bermanfaat bagi dunia nyata,’’ jelas Darus meyakinkan.
Daftar pustaka
http://www.riaupos.co/452-spesial-tarian-pengobatan-orang-sakai.html#.VK_zgCusWAU
http://andikasudjana.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar